Berikan Suara Anda Kepada Dunia

....

Monday, August 20, 2007

I cried for my brother six times

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang tuaku
membajak tanah
kering kuning,dan punggung mereka
menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda
dariku. Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku
kelihatannya
membawanya,Aku mencuri lima puluh sen
dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya.
Beliau membuat adikku dan aku berlutut
di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau
bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau
begitu, kalian
berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung
adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya
sehingga ia
terus menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang
batu
bata kami dan memarahi, "Kamu sudah
belajar mencuri
dari rumah sekarang, hal memalukan apa
lagi yang akan kamu
lakukan di masa mendatang?
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu
pencuri tidak
tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku
dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi
ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan
kecilnya dan
berkata, "Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya
sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena
tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun
telah lewat,tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima untuk masuk ke
sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya
mendengarnya memberengut,
"Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik...hasil yang begitu
baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir
dan menghela nafas,
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita
bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau
melanjutkan sekolah
lagi,telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya
dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap
rumah di dusun itu untuk meminjam
uang.
Aku menjulurkan tanganku selembut yang
aku bisa ke muka
adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia
tidak akan
pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.
" Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak
lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum
subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan
beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah mengering. Dia
menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari
kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas
tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran
sampai suaraku
hilang. Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari
seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari
mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas). Suatu
hari, aku sedang belajar di
kamarku, ketika teman sekamarku masuk
dan memberitahukan, "Ada seorang
penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun
mencariku? Aku
berjalan keluar, dan melihat adikku dari
jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika mereka tahu saya
adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa
terenyuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku
tidak perduli omongan siapa
pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah
jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama
lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke
rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti,
dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari
seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu
banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku.
Melihat
mukanya yang kurus, seratus jarum terasa
menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut
lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika
saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan
pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja
dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya,
dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali
suamiku dan aku mengundang orang tuaku
untuk datang
dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan
dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan
apa. Adikku
tidak setuju juga, mengatakan, "Kak,
jagalah mertuamu saja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami
menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga
untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia
mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya. Melihat gips
putih pada
kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu
menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan
pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa kamu tidak mau
mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada
wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia
baru saja jadi
direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan
kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi
kamu kurang
pendidikan juga karena aku!" "Mengapa
membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu,
ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa
yang paling kamu hormati dan
kasihi?"

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,"Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya
pergi sekolah SD, ia berada pada dusun
yang berbeda. Setiap hari kakakku
dan saya berjalan selama dua jam untuk
pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja
dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya
begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku dan baik
kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar
bibirku, "Dalam hidupku, orang
yang paling aku berterima kasih adalah
adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun
dari wajahku seperti sungai.

Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for
my brother six
times"

No comments: